FIQH MUAMALAH
AL-WAKALAH
KELOMPOK
10
1.
Cepti Dwi
Anjani
2.
Ewi Anggun
Syahfutri
SEMESTER/
LOKAL : PBS IV A/ P.1.I
DOSEN PEMBIMBING:
Khariah
Elwardah
PRODI
PERBANKAN SYRI’AH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
TAHUN AJARAN 2016
|
KATA PENGANTAR
Segala puji penulis panjatkan atas kehadirat
Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Wakalah ini. Tujuan penulis menyusun makalah ini untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bank dan Lembaga Keungan Syariah dari Ibu
Khairiah Elwardah.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat
tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan
itu bisa teratasi. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penulis
berharap bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari
pembaca.
Bengkulu, April 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................. 3
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ...................................................................................... 4
A.
Pengertian
Wakalah............................................................................... 5
B.
Dasar Hukum......................................................................................... 7
C.
Rukun dan
Ketentuan Syariah............................................................... 10
D.
Hal-hal yang Boleh dan Tidak Boleh Diwakilkan.................................... 11
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan .......................................................................................... 13
B.
Saran .................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam mensyariatkan wakalah karena
manusia membutuhkannya. Manusia tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya
secara pribadi dan membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak
sebagai wakilnya. Dan Ijma para ulama telah sepakat telah membolehkan wakalah,
karena wakalah dipandang sebagai bentuk tolong-menolong atas dasar kebaika dan
takwa yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya. Firman Allah QS.
Al-Maidah ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب.
“Dan
tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan janganlah
kamu tolong-menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih.
Para ulama
memberikan definisi wakalah yang beragam, diantaranya yaitu:
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah adalah, seseorang
menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan). Sedangkan
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah bahwawakalah adalah
seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan ketika
hidupnya.
Dalam wakalah sebenarnya
pemilik urusan (muwakil) itu dapat secara sah untuk
mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun karena satu dan lain hal urusan
itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya.
Oleh karena itu, jika seorang (muwakil) itu adalah orang yang
tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila, atau anak kecil
maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah seperti
seorang terdakwa mewakilkan urusan kepada pengacaranya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakalah
Al Wakalah atau Al Wakilah atau At Tahwidh artinya penyerahan,
pendelegasian atau pemberian mandat. Akad wakalah adalah akad pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan. Sebabnya adalah tidak semua hal dapat diwakilkan, contohnya shalat,
puasa, bersuci, dan qishas.[1]
Wakalah berasal dari
bahasa Arabartinya
makna dalam bahasa Indonesia adalah
menyerahkan, mempercayakan.[2] Sedangkan
wakalah menurut istilah, di antara para ulama ada beberapa pendapat,
antara lain adalah :
“Seorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hal (kewajiban)
dia yang mengelola pada posisi itu”.
“Seseorang menempati diri orang lain dalam tasarruf (pengelolaan)”.
“Sesuatu ibarat seseorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain
untuk dikerjakan ketika hidupnya”.
“Adalah permintaan ganti seseorang yang membolehkan tasarruf yang
seimbang pada pihak yang lain, yang di dalamnya terdapat penggantian dari
hak-hak Allah dan hak-hak manusia”.
5.
Abdurrahaman I.
Doi.
“Wakalah adalah ketika seseorang menguasakan kepada orang
lain untuk menggantikannya dalam memperoleh hak-hak sipil”.[3]
Dari
beberapa pengertian ulama di atas, dapat ditarik kesimpulan secara umum bahwa wakalah
pada intinya merupakan pelimpahan kekuasaan atau wewenang oleh seseorang
kepada orang lain dalam hal-hal tertentu yang dapat diwakilkan dengan suatu
akad tertentu pula. [4]
Islam
mensyari’atkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang
mempunyai kemampuan atau kesempatan unutk menyelesaikan segala urusannya
sendiri. Pada suatu kesempatan seseorang perlu mendelegasikan urusan tertentu
kepada orang lain untuk mewakili dirinya. lafadz wakil muncul dalam
al-Qur'an sekitar dua puluh empat kali dalam konteks dan makna yang berbeda
yang inti pokoknya adalah seseorang yang bertanggungjawab untuk mengatur urusan
orang lain.10 Di antara ayat-ayat al-Qur'an yang menjadi landasan hukum wakalah
adalah sebagai berikut :
1.
Al-Qur’an
a. Salah satu dibolehkannya wakalah adalah firman Allah
berkenaan dengan kisah Ashab al-Kahfi, dalam surat al-Kahfi ayat 19 :
Artinya
: Dan demikianlah kami bangunkan mereka saling bertanya di antara mereka sendiri.
Bekatalah salah seorang di antara mereka : “sudah berapa lamakah kamu berada
(di sini ?) mereka menjawab : “kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”
Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu
berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang
lebih baik. Maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia
berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorangpun. (Q. S. al-Kahfi : 19 ).
Dari
ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Allah telah mensyari’atkan wakalah karena
manusia akan membutuhkannya. Sebab tidak semua manusia mempunyai kemampuan
untuk menekuni segera urusannya sendiri, sehingga tetap membutuhan kepada
pendelegasian mandat orang lain untuk melakukan sebagai wakil darinya.
Artinya
: Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir);
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."(Q.S.
Yusuf : 55).[5]
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa Nabi Yusuf menyatakan siap untuk menjadi wakil dan
pengemban amanah menjaga urusan ekonomi negeri Mesir.
c. Dalam menyelesaikan persengketaan dalam rumah tangga juga
dianjurkan untuk menunjuk wakil dari kedua belah pihak sebagaimana firman Allah
dalam al-Qur'an :
Artinya
: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga lakilakidan seorang hakam dari keluarga perempuan.
Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-isteri itu._ Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Nisa : 35).
2.
Hadits
Selain
al-Qur'an, ada beberapa hadits yang menjadi landasan wakalah.
Diantaranya adalah:
Artinya
: Bahwasanya Rasulullah Saw mewakilkan kepada Abu Rafi’i dan seorang Anshar
untuk mewakili mengawini Maimunah binti al- Harits. (HR. Malik).
Artinya
: Dari Jabir r.a ia berkata : Aku keluar pergi ke Khaibar lalu akau datang
kepada Rasulullah Saw maka beliau bersabda baila engkau datang pada wakilku,
maka ambilah darinya 15 wasaq. (HR. Abu Daud).
Artinya
: Dari r.a Bahwa Nabi Saw menyembelih kurban sebanyak 63 ekor hewan dan Ali
r.a disuruh menyembelih kurban yang sebelum disembelih” (HR. Muslim).
3.
Ijma’
Para
ulama pun sepakat dengan ijma, bahwa wakalah diperbolehkan. Mereka
bahkan ada yang cenderung mensunahkan dengan alasan bahwa hal tersebut
merupakan jenis ta’awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa.
Tolong-menolong diserukan oleh al-Qur'an dan disunnahkan oleh Rasul.
Artinya
: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam berbiat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S. al-Maidah
: 2)
Artinya
: “Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudara”. (HR. Muslim).
Dalam
perkembangan fiqih Islam, status wakalah terjadi perbedaan pendapat :
a)
Pendapat
pertama menyatakan bahwa nia’bah atau
mewakili. Menurut pendapat ini si wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi
muwakil
b)
Pendapat kedua
menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah, karena khilafah (menggantikan) di
bolehkan untuk yang menyerahkan kepada yang lebih baik. Sebagaimana dalam jual
beli, melakukan pemabayaran secara tuai lebih baik walaupun diperkenankan
secara kredit.
C. Rukun dan Ketentuan Syari’ah
1.
Pelaku
a.
Pihak pemberi kuasa atau pihak yang meminta diwakilkan(muwakkil) :
1)
Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
2)
Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu.
b.
Pihak penerima kuasa (wakil).
1)
Harus cakap hukum.
2)
Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
2.
Objek akad (sesuatu yang dikuasakan).
a.
Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili.
b.
Tidak bertentangan dengan syariah islam.
c.
Dapat diwakilkan menurut syariah islam.
d.
Manfaat barang dan jasa harus bisa dinilai.
e.
Kontrak dapat dilaksanakan.
3.
Ijab kabul atau serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling ridha atau rela di antara pihak-pihak
pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.[6]
D. Hal-hal yang Boleh dan Tidak Boleh Diwakilkan
Pada
hakekatanya semua yang menyangkut hal-hal mengenai muamalah boleh diwakilkan.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua akad boleh diakadkan sendiri oleh manusia,
boleh pula ia wakilkan kepada orang lain. Sebagaimana dikemukakan di atas,
dalam jual beli diberbolehkan seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual atau
membelikan sesuatu. Dalam hal ini boleh tanpa adanya ikatan harga tertentu,
namun harus menjual dengan harga pasar tidak boleh berspekulasi, kecuali bila
penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan. Namun Abu Hanifah berpendapat
bahwa wakil tersebut boleh menjual sebagaimana kehendak wakil itu sendiri.
Karena menurut Abu Hanifah mewakilkan itu sifatnya mutlaq. Namun bila yang
mewakili tersebut sampai menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati dan
penyimpanan tersebut dapat merugikan pihak yang diwakili, maka tindakan
tersebut adalah batil menurut pandangan mazhab Syafi’i sedangkan menurut Hanafi
tindakan tersebut tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan.[7]
Ibadah
bersifat badaniyah tidak boleh diwakilkan. Sedangkan dalam ibadah yang sifatnya
pribadi tidak boleh diwakilkan, misalkan shalat dan puasa ramadhan. kecualai
haji, menyembelih kurban, membagi zakat, puasa kifarat dan rakaat thawaf
terakhir dalam haji menurut Imam Taqiyuddin dapat diwakilkan.
Dalam
hal qishas para ulama masih berselisih dapatkah diwakilkan. Abu Hanifah
dalam hal ini tidak membolehkan, kecuali orang yang mewakilkan hadir. Jika
tidak hadir, tidak boleh, karena dialah yang berhak, jika ia hadir mungkin
dapat dimaafkan karena itu ditangah ketidk jelasan ini pembayaran qishas tidak
diperbolehkan. Sedangkan Imam Malik membolehkan sekalipun orang yang mewakilkan
tidak hadir, pendapat ini juga didukung oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Wakalah dapat diartikan
sebagai akad pelimpahan kekuasaan atau wewenang oleh seseorang kepada orang
lain dalam hal-hal tertentu yang dapat diwakilkan dengan suatu akad tertentu
pula.
2. Dasar Hukum Wakalah
a.
Al-Qur’ah
1.
Q.S. Kahfi: 19
2.
Q.S. Yusuf: 55
3.
Q.S. al-Nisa:
35).
b.
Hadist
c. Ijma’
3. Rukun Wakalah:
a. Pelaku
b. Objek Akad
c. Ijab Qabul
4. Pada hakekatanya semua yang menyangkut hal-hal mengenai muamalah
boleh diwakilkan. Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua akad boleh diakadkan sendiri
oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang lain.
B.
Saran
Setelah diuraikannya makalah dengan pembahasan mengenai wakalah ini, diharapkan dapat menambah
pengetahuan pembaca sehingga ke depannya bisa menjadi sumber daya mansia yang
mampu mengaplikasikan teori ini dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam
melakukan kegiatan bermuamalah agar kegiatan tersebut sejalan dengan prinsip
syari’ah dan memperoleh ridha dari Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Doi,
Abdurrahman I. 2002. Syari’ah the
Islamic Law, (tarj.) Zaimudin dan
Rusydi Sulaiman. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Munawir,
Ahmad Warson. 1997. al-Munawwir:
Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Nurhayati,
Sri. 2013. Akuntansi Syariah di Indonesia.
Jakarta: Salemba Empat.
Progresif.
Suhendi,
Hendi. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
[1] Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia,
(Jakarta: Salemba Empat, 2013), hlm. 257.
[2] Ahmad Warson
Munawir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1997,
hlm. 1579.
[3] Abdurrahman I.
Doi, Syari’ah the Islamic Law, (tarj.) Zaimudin dan Rusydi Sulaiman,
(Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 467-148.
[4] Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia,
(Jakarta: Salemba Empat, 2013), hlm. 257.
[5] Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia,
(Jakarta: Salemba Empat, 2013), hlm. 258.
[6] Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia,
(Jakarta: Salemba Empat, 2013), hlm. 259.