Jumat, 03 Juni 2016

Makalah Fiqh Muamalah: Al-Wakalah (Cepti Dwi Anjani)



FIQH MUAMALAH

AL-WAKALAH



KELOMPOK 10
1.      Cepti Dwi Anjani
2.      Ewi Anggun Syahfutri

SEMESTER/ LOKAL : PBS IV A/ P.1.I
DOSEN PEMBIMBING:
Khariah Elwardah

PRODI PERBANKAN SYRI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
TAHUN AJARAN 2016

 

KATA PENGANTAR

     Segala puji penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Wakalah ini. Tujuan penulis menyusun makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bank dan Lembaga Keungan Syariah dari Ibu Khairiah Elwardah.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penulis berharap bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.  Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca.


Bengkulu,  April  2016


                                                                                                      Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................   2
DAFTAR ISI .................................................................................................  3
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ......................................................................................  4
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wakalah...............................................................................   5
B.     Dasar Hukum.........................................................................................  7
C.     Rukun dan Ketentuan Syariah...............................................................  10
D.    Hal-hal yang Boleh dan Tidak Boleh Diwakilkan....................................  11
BAB III PENUTUP                                                                                                  
          A.    Kesimpulan ..........................................................................................   13
          B.     Saran ....................................................................................................  13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................  14










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Manusia tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi dan membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak sebagai wakilnya. Dan Ijma para ulama telah sepakat telah membolehkan wakalah, karena wakalah dipandang sebagai bentuk tolong-menolong atas dasar kebaika dan takwa yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya. Firman Allah QS. Al-Maidah ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب.            
“Dan tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih.
Para ulama memberikan definisi wakalah yang beragam, diantaranya yaitu: Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah adalah, seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan). Sedangkan Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah bahwawakalah adalah seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakil) itu dapat secara sah untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun karena satu dan lain hal urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya. Oleh karena itu, jika seorang (muwakil) itu adalah orang yang tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila, atau anak kecil maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah seperti seorang terdakwa mewakilkan urusan kepada pengacaranya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Wakalah
Al Wakalah atau Al Wakilah atau At Tahwidh artinya penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat. Akad wakalah adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Sebabnya adalah tidak semua hal dapat diwakilkan, contohnya shalat, puasa, bersuci, dan qishas.[1]
Wakalah berasal dari bahasa Arabartinya         makna dalam bahasa Indonesia adalah menyerahkan, mempercayakan.[2] Sedangkan wakalah menurut istilah, di antara para ulama ada beberapa pendapat, antara lain adalah :
1.      Ulama Malikiyyah

“Seorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hal (kewajiban) dia yang mengelola pada posisi itu”.
2.      Ulama Hanafiyyah


“Seseorang menempati diri orang lain dalam tasarruf (pengelolaan)”.
3.      Ulama Syafi’iyyah

“Sesuatu ibarat seseorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya”.
4.      Ulama Hanabilah

“Adalah permintaan ganti seseorang yang membolehkan tasarruf yang seimbang pada pihak yang lain, yang di dalamnya terdapat penggantian dari hak-hak Allah dan hak-hak manusia”.
5.      Abdurrahaman I. Doi.
Wakalah adalah ketika seseorang menguasakan kepada orang lain untuk menggantikannya dalam memperoleh hak-hak sipil”.[3]
Dari beberapa pengertian ulama di atas, dapat ditarik kesimpulan secara umum bahwa wakalah pada intinya merupakan pelimpahan kekuasaan atau wewenang oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal tertentu yang dapat diwakilkan dengan suatu akad tertentu pula. [4]
SKEMA WAKALAH
B.  Dasar Hukum Wakalah
Islam mensyari’atkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan unutk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Pada suatu kesempatan seseorang perlu mendelegasikan urusan tertentu kepada orang lain untuk mewakili dirinya. lafadz wakil muncul dalam al-Qur'an sekitar dua puluh empat kali dalam konteks dan makna yang berbeda yang inti pokoknya adalah seseorang yang bertanggungjawab untuk mengatur urusan orang lain.10 Di antara ayat-ayat al-Qur'an yang menjadi landasan hukum wakalah adalah sebagai berikut :
1. Al-Qur’an
a. Salah satu dibolehkannya wakalah adalah firman Allah berkenaan dengan kisah Ashab al-Kahfi, dalam surat al-Kahfi ayat 19 :
          
Artinya : Dan demikianlah kami bangunkan mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Bekatalah salah seorang di antara mereka : “sudah berapa lamakah kamu berada (di sini ?) mereka menjawab : “kita berada (di sini) sehari atau setengah hari” Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik. Maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun. (Q. S. al-Kahfi : 19 ).
Dari ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Allah telah mensyari’atkan wakalah karena manusia akan membutuhkannya. Sebab tidak semua manusia mempunyai kemampuan untuk menekuni segera urusannya sendiri, sehingga tetap membutuhan kepada pendelegasian mandat orang lain untuk melakukan sebagai wakil darinya.
b. Ayat lain adalah menjadi rujukan wakalah dalam surat Yusuf :
   
Artinya : Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."(Q.S. Yusuf : 55).[5]
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Yusuf menyatakan siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga urusan ekonomi negeri Mesir.
c. Dalam menyelesaikan persengketaan dalam rumah tangga juga dianjurkan untuk menunjuk wakil dari kedua belah pihak sebagaimana firman Allah dalam al-Qur'an :
  
Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga lakilakidan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu._ Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Nisa : 35).
2. Hadits
Selain al-Qur'an, ada beberapa hadits yang menjadi landasan wakalah. Diantaranya adalah:                         
Artinya : Bahwasanya Rasulullah Saw mewakilkan kepada Abu Rafi’i dan seorang Anshar untuk mewakili mengawini Maimunah binti al- Harits. (HR. Malik).                                                      
Artinya : Dari Jabir r.a ia berkata : Aku keluar pergi ke Khaibar lalu akau datang kepada Rasulullah Saw maka beliau bersabda baila engkau datang pada wakilku, maka ambilah darinya 15 wasaq. (HR. Abu Daud).             
Artinya : Dari r.a Bahwa Nabi Saw menyembelih kurban sebanyak 63 ekor hewan dan Ali r.a disuruh menyembelih kurban yang sebelum disembelih” (HR. Muslim).
3. Ijma’
Para ulama pun sepakat dengan ijma, bahwa wakalah diperbolehkan. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkan dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan jenis ta’awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh al-Qur'an dan disunnahkan oleh Rasul.
Hal tersebut sebagaimana firman Allah :
Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbiat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S. al-Maidah : 2)
Sabda Rasulullah :
Artinya : “Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudara”. (HR. Muslim).
Dalam perkembangan fiqih Islam, status wakalah terjadi perbedaan pendapat :
a)      Pendapat pertama menyatakan bahwa nia’bah atau mewakili. Menurut pendapat ini si wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi muwakil
b)      Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah, karena khilafah (menggantikan) di bolehkan untuk yang menyerahkan kepada yang lebih baik. Sebagaimana dalam jual beli, melakukan pemabayaran secara tuai lebih baik walaupun diperkenankan secara kredit.
C.  Rukun dan Ketentuan Syari’ah
1.      Pelaku
a.       Pihak pemberi kuasa atau pihak yang meminta diwakilkan(muwakkil) :
1)      Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
2)      Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu.
b.      Pihak penerima kuasa (wakil).
1)      Harus cakap hukum.
2)      Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
2.      Objek akad (sesuatu yang dikuasakan).
a.       Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili.
b.      Tidak bertentangan dengan syariah islam.
c.       Dapat diwakilkan menurut syariah islam.
d.      Manfaat barang dan jasa harus bisa dinilai.
e.       Kontrak dapat dilaksanakan.
3.      Ijab kabul atau serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling ridha atau rela di antara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.[6]
D.  Hal-hal yang Boleh dan Tidak Boleh Diwakilkan
Pada hakekatanya semua yang menyangkut hal-hal mengenai muamalah boleh diwakilkan. Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua akad boleh diakadkan sendiri oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang lain. Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam jual beli diberbolehkan seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual atau membelikan sesuatu. Dalam hal ini boleh tanpa adanya ikatan harga tertentu, namun harus menjual dengan harga pasar tidak boleh berspekulasi, kecuali bila penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan. Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa wakil tersebut boleh menjual sebagaimana kehendak wakil itu sendiri. Karena menurut Abu Hanifah mewakilkan itu sifatnya mutlaq. Namun bila yang mewakili tersebut sampai menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati dan penyimpanan tersebut dapat merugikan pihak yang diwakili, maka tindakan tersebut adalah batil menurut pandangan mazhab Syafi’i sedangkan menurut Hanafi tindakan tersebut tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan.[7]
Ibadah bersifat badaniyah tidak boleh diwakilkan. Sedangkan dalam ibadah yang sifatnya pribadi tidak boleh diwakilkan, misalkan shalat dan puasa ramadhan. kecualai haji, menyembelih kurban, membagi zakat, puasa kifarat dan rakaat thawaf terakhir dalam haji menurut Imam Taqiyuddin dapat diwakilkan.
Dalam hal qishas para ulama masih berselisih dapatkah diwakilkan. Abu Hanifah dalam hal ini tidak membolehkan, kecuali orang yang mewakilkan hadir. Jika tidak hadir, tidak boleh, karena dialah yang berhak, jika ia hadir mungkin dapat dimaafkan karena itu ditangah ketidk jelasan ini pembayaran qishas tidak diperbolehkan. Sedangkan Imam Malik membolehkan sekalipun orang yang mewakilkan tidak hadir, pendapat ini juga didukung oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Wakalah dapat diartikan sebagai akad pelimpahan kekuasaan atau wewenang oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal tertentu yang dapat diwakilkan dengan suatu akad tertentu pula.
2.      Dasar Hukum Wakalah
a.    Al-Qur’ah
1.      Q.S. Kahfi: 19
2.      Q.S. Yusuf: 55
3.      Q.S. al-Nisa: 35).
b.    Hadist
c.    Ijma’
3.      Rukun Wakalah:
a.    Pelaku
b.    Objek Akad
c.    Ijab Qabul
4.      Pada hakekatanya semua yang menyangkut hal-hal mengenai muamalah boleh diwakilkan. Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua akad boleh diakadkan sendiri oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang lain.
B.     Saran
Setelah diuraikannya makalah dengan pembahasan mengenai wakalah ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan pembaca sehingga ke depannya bisa menjadi sumber daya mansia yang mampu mengaplikasikan teori ini dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam melakukan kegiatan bermuamalah agar kegiatan tersebut sejalan dengan prinsip syari’ah dan memperoleh ridha dari Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Doi, Abdurrahman I. 2002.  Syari’ah the Islamic Law, (tarj.) Zaimudin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Munawir, Ahmad Warson. 1997.  al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Nurhayati, Sri. 2013. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Progresif.
Suhendi, Hendi. 2002.  Fiqih Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.


[1] Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), hlm. 257.
[2] Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1997, hlm. 1579.
[3] Abdurrahman I. Doi, Syari’ah the Islamic Law, (tarj.) Zaimudin dan Rusydi Sulaiman,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 467-148.
[4] Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), hlm. 257.
   [5] Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), hlm. 258.
[6] Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), hlm. 259.
[7] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,( Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm. 236